6.12.09

"Gaza 2009" Menangkan Cairo International Film Festival 2009

Film berjudul "Gaza 2009" keluar sebagai pemenang pada Festival Film Internasional Kairo (Mahrajan al-Qahirah as-Sinima'i ad-Duwali/Cairo International Film Festival) 2009 yang digelar selama pekan terakhir bulan November kemarin.

Film produksi Syirkah Filasthin li al-Intaj al-I'lami (PMP), Gaza, itu keluar sebagai pemenang setelah menyisihkan 400 film Arab lainnya yang ikut serta dalam festival tersebut.


"Gaza 2009" merupakan film-romantika yang sarat akan pesan kemanusiaan. Kisahnya benar-benar menguras air mata dan menggugah emosi siapapun yang menontonnya. Betapa tidak, film tersebut menceritakan tentang potret kehidupan warga Palestina yang menyayat hati di bawah pendudukan Israel, khususnya di wilayah Jalur Gaza yang mengalami blokade selama beberapa tahun terakhir.

Di tengah kondisi yang mengenaskan itu, mencuatlah kisah cinta seorang pemuda-Muslim dari Gaza dengan seorang gadis-Yahudi dari Nazaret, Israel. Pemuda Gaza itu bekerja di Nazaret, dan di kota kelahiran Isa al-Masih itulah keduanya berkenalan dan saling memadu kasih. Keduanya pun lantas menikah, setelah si gadis memeluk Islam dan ikut suaminya ke Gaza yang nelangsa.

Tentu saja, sejuntai problem perbedaan dua identitas menjuntai dan menghiasi lika-liku kehidupan mereka pasca menikah, dan setelah mempunyai buah hati sebanyak enam anak. Sebagian dari anak-anak mereka, misalnya, justru bercakap dalam bahasa Ibrani, belajar Talmud dan Taurat di Israel.

Sutradara film, Musthafa an-Nabih, berwarganegara Palestina, menyatakan jika kisah film "Gaza 2009" sendiri diilhami dari kisah nyata. Dikatakannya, problem dan konflim mulai muncul dalam kehidupan dua sejoli itu setelah delapan tahun usia pernikahan mereka.

Problem tersebut berpangkal dari keadaan kehidupan di Gaza yang serba sulit pasca blokade Israel. Bisa dibayangkan, pasca blokade itu, Gaza benar-benar seperti wilayah purba: tak ada air bersih, bahan bakar, pasokan makanan, obat-obatan, dan listrik. Bisa dibayangkan betapa mengerikannya kehidupan di sana. Sang istri rupanya merasa tak kuasa hidup di tengah kondisi kehidupan yang benar-benar sengsara seperti itu.

Sang istri pun memutuskan untuk kembali ke Nazaret, kampung halaman asalnya. Ia pun kabur bersama tiga orang anaknya, sementara tiga anak lainnya tinggal bersama si bapak di Gaza. Dua dari tiga anak mereka yang kemudian hidup bersama bapaknya adalah si kembar-bungsu yang baru berusia 27 hari, salah satunya bahkan cacat.

Di Nazaret, si istri dan ketiga anak yang dibawanya, yang paling besar bernama Yasmin (9 tahun), dan menjadi salah satu tokoh utama di film tersebut, kembali memeluk agama Yahudi, sekaligus semua anaknya.

Penderitaan si lelaki tak hanya berhenti sampai di sana saja. Dinas intelejen Israel memaksanya untuk meninggalkan semua anaknya, untuk diboyong ke wilayah negeri itu dan menjadi warga negara Israel. Puncaknya, di hari terakhir penyerbuan Israel ke Gaza di awal tahun lalu, lelaki itu pun mati dirajam peluru dan roket pesawat Israel.

An-Nabih, sang sutradara, bercerita bahwa pasca berakhirnya agresi Israel ke Gaza di awal tahun yang lalu, pihaknya segera mengunjungi wilayah tersebut, untuk membuat film dokumenter. Saat itu, secara tak sengaja ia mendengar kisah Yasmin dan keluarga Gaza-Palestina dan Nazaret-Israel ini.

"Saat mengunjungi Gaza setelah agresi Israel berakhir, saya mendengar kisah Yasmin yang dibawa kabur oleh ibunya dari Gaza. Keluarga ini pun terpecah, menjadi keluarga Muslim dan Yahudi," kata an-Nabih.

Ditambahkan oleh seniman kenamaan Palestina itu, pesan utama dari film garapannya adalah nilai-nilai kemanusiaan. "Di film itu, kami ingin menyuguhkan kisah kemanusiaan, yang sangat nyata, dan sangat memukul. Betapa sebuah keluarga yang mulanya harmonis menjadi hancur dan menjadi terbelah," terang an-Nabih.

Sebelumnya, film "Gaza 2009" juga menjadi pemenang kategori film dokumenter pada Festival Film Arab yang digelar di Tunisia belum lama ini.

Untuk maklumat lebih jauh tentang film Gaza 2009, dapat diakses di situs produser film tersebut, yaitu www.pmptv.tv (ags)

Penerapan Syari'at Islam

Penulis: Khalid Ahmad Asy-Syantut

***


Aktivitas politik Islam bertunjuan untuk menerapkan syari‘at Islam dalam kehidupan umat Islam dan merealisasikan Islam sebagai agama dan negara dalam kehidupan mereka. Ini adalah masalah penting sekali yang terkait dengan akidah itu sendiri. Betapa mengherankan sikap banyak umat Islam yang lupa akan masalah ini, bahkan kita mendapat banyak dari mereka yang loyal terhadap partai-partai sekuler yang memisahkan agama dari negara, tidak menerapkan syari‘at Islam. Seolah-olah masalah penrapan syari‘at ini tidak ada hubungannya dengan keyakinan seorang muslim. Lalu, apa kata ulama?

Dr. Shalah ash-Shawi dalam bukunya Qadhiyyah Tathbiq asy-Syari‘ah fil-‘Alam al-Islami (23) mengatakan, “Prinsip-prinsip Islam adalah ridha kepada Allah sebagai Tuhan pencipta, Islam sebagai agama, Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul. Prinsi-prinsip tersebut menuntut kita untuk menjadikan hakimiyyah (hak menetapkan hukum) tertinggi dan supremasi absolut di tangan Allah, dan untuk menjadikan kalimat-kalimat Allah semata sebagai hukum tertinggi dan argumen yang telak. Sebagaimana prinsip-prinsip tersebut menuntut pengakuan hal yang dipastikan sebagai bagian dari agama dengan sikap membenarkan dan patuh. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara ibadah dan muamalah. Membatasi agama pada dimensi akidah dan ibadah saja merupakan salah satu bentuk kemurtadan dan penyimpangan agama. Sebagaimana prinsip-prinsip tersebut menuntut pengakuan terhadap berita yang shahih dari Nabi SAW dengan sikap membenarkan dan patuh, dan bahwa barangsiapa yang menolak sebagian dari apa yang dibawa Rasulullah SAW (baik penolakannya itu karena ragu atau karena enggan menerima) maka ia seperti orang yang tidak rela terhadap kenabiannya. Karena hakikat rela terhadap kenabiannya adalah membenarkan berita beliau seluruhnya meskipun ia tidak mengetahui hakikatnya, komit terhadap petunjuknya meskipun ia tidak mengetahui hakikatnya. Barangsiapa yang dalam hatinya tidak ada pembenaran dan kepatuhan yang demokrasi itu, maka ia terbilang kafir dan keluar dari Islam.

Segenap orang yang beriman kepada Allah sebagai Tuhan Pencipta, Islam sebagai agama yang benar dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul! Pengakuan iman Anda tidak akan sah sebelum Anda menolong Rasulullah SAW, membelanya dan menghargainya. Caranya adalah dengan patuh kepada beliau secara sempurna dan tunduk kepadanya secara mutlak, menerima petunjuk dari kalimat-kalimat beliau huruf demi huruf dan tidak menentang keputusan beliau sama sekali. Pengakuan iman akal tidak akan sah sebelum Anda mengetahui bahwa supremasi tertinggi ada pada syari‘at, bukan yang lain; bahwa hak menetapkan aturan yang mutlak itu tidak diberikan Allah kepada seorang pun selain beliau SAW; dan bahwa apa yang diajarkan sekularisme, yaitu menjadikan kehendak rakyat sebagai penentu menggantikan Kitab dan Sunnah, merupakan salah satu bentuk kemurtadan, melepas tali agama dan merebut salah satu karakteristik terpenting dan sifat yang paling komprehensif milik Allah. Pengakuan iman Anda tidak akan sah sebelum Anda mengetahui bahwa Anda tunduk dengan kekuasaan-Nya, dan bahwa Kitab dan Sunnah merupakan argumen yang telak dan hukum tertinggi, dan bahwa keduanya berada di atas undang-undang dan konstitusi, serta berbagai aturan dan sistem yang dibuat manusia.

Tidakkah aneh jika al-Qur’an itu mengalahkan seluruh kitab suci, padahal seluruhnya diturunkan dari sisi Allah, sementara itu al-Qur’an dalam agama Anda tidak hegemoni terhadap konstitusi dan undang-undang yang Anda inginkan, padahal konstitusi dan undang-undang itu buatan tangan Anda, dimana Anda bisa mengubahnya dan menggantinya sesuka hati? Apakah Anda ingin mendahulu Allah dan Rasul-Nya dengan aturan-aturan buatan Perancis dan Inggris, padahal mereka telah memperlakukan Anda, bangsa dan agama Anda sedemikian buruk, baik yang Anda tahu atau yang tidak Anda tahu.
Kebenaran telah terkuat! Pengakuan sebagai seorang muslim tidak bisa berdampingan dengan sikap menolak syari‘at Islam, baik karena mendustakan atau enggan dalam kondisi apapun. Anda harus menentukan pilihan antara menjadi pembela Islam di parlemen dan selainnya, tidak mengingkari hukum Allah dan tidak menolak perintah-Nya, tidak berusaha untuk melemahkan ayat-ayatnya dan tidak berusaha menghalang-halangi penerapan syari‘at Allah, sehingga Anda menjadi muslim dan hamba Allah yang baik; atau Anda terbawa hawa nafsu untuk menjauhi agama dan loyal terhadap musuh-musuh syari‘at, berusaha melemahkan ayat-ayat Allah, tidak menerapkan syari‘at-Nya dan menolak hukum-hukum-Nya, sehingga kalian tidak punya hubungan apapun dengan Allah dan Islam, meskipun kalian shalat, puasa dan mengaku sebagai seorang muslim.” (ash-Shawi)

Ijma‘ tentang Kufurnya Orang yang Enggan Berhukum Kitab dan Sunnah

1. Al-Hafizh Ibnu Katsir.
Judul Buku: Dakwah Politik antara Pragmatisme dan Profesionalisme


Saat menafsirkan firman Allah, “Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (al-Ma’idah [5]: 50), Ibnu Katsir berkomentar, “Allah menghujat orang yang keluar dari hukum Allah dan beralih kepada pendapat, ego dan istilah yang dibuat manusia, sebagaimana kesesatan dan kebodohan yang dijadikan bangsa jahiliyah dalam menetapkan hukum, sebagaimana politik kerajaan bangsa Tartar yang diambil dari raja mereka, Jengis Khan yang membuat Yasiq, yaitu undang-undang yang dikumpulkan dari berbagai sumber hukum dan pandangannya sendiri, lalu ia menjadi aturan yang diikuti bagi bangsa Tartar. Barangsiapa yang mengikuti hukum tersebut, maka ia kafir dan wajib diperangi sampai ia kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya.

Dalam kitab al-Bidayah wan-Nihayah (13/119), Ibnu Katsir juga mengatakan, “Barangsiapa meninggalkan syari‘at yang muhkam (tegas dan tidak mengandung takwil) yang diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah Penutup para Nabi SAW, lalu mengikuti hukum syari‘at yang telah dihapus, maka ia telah kufur. Lalu, bagaimana dengan orang yang mengikuti hukum Yasiq dan lebih mengutakannya daripada hukum Allah? Barangsiapa yang berbuat demokrasi, maka ia telah kufur berdasarkan ijma’ umat Islam.”

2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

Ibnu Taimiyyah dalam kitab al-Fatawa (3/267) mengatakan, “Ketika seseorang menghalalkan sesuatu yang disepakati haram, atau mengharamkan sesuatu yang disepakati halal, mengganti syari‘at yang telah disepakati, maka ia kafir dan murtad menurut kesepakatan para ulama fikih.”

3. Syaikh Muhammad bin Ibrahim, Mantan Mufti Saudi.

Dalam risalah Tahkim al-Qawanin Syaikh Muhammad berkata, “Di antara bentuk kufur yang paling besar adalah menempatkan undang-undang yang terlaknat menggantikan apa yang diturunkan malaikat Jibril pada hari Muhammad SAW untuk dijadikan hukum yang berlaku di antara manusia. Hal itu sesuai firman Allah, “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisa’ [4]: 59)

4. Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz.

Ia berkata, “Seruan nasionalisme Arab dan persatuan di bawah panjinya mengakibatkan masyarakat menolak hukum al-Qur’an, karena orang-orang nasionalis non-muslim tidak akan rela mengikuti hukum al-Qur’an, sehingga hal itu mengharuskan para pemimpin nasionalisme untuk mengambil hukum positif yang bertentangan dengan hukum al-Qur’an, agar semua masyarakat memiliku kedudukan yang sama di hadapan hukum-hukum tersebut. Banyak dari mereka yang meneriakkan hal ini sebagaimana telah dijelaskan. Ini merupakan kerusakan besar, kekafiran yang nyata dan kemurtadan yang jelas, sebagaimana firman Allah, “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (al-Maidah [5]: 44) Setiap orang yang tidak memutuskan menurut syari‘at Allah dan tidak tunduk terhadap hukum Allah, maka dia orang yang jahil, kafir, zhalim lagi fasiq berdasarkan nash ayat-ayat yang muhkam ini.”

Abdul ‘Aziz bin Baz juga mengatakan, “Sesungguhnya orang-orang yang menyerukan sosialisme atau sosialisme atau paham-paham destruktif lain yang kontradiksi dengan hukum Islam itu kafir dan sesat, lebih kafir daripada Yahudi dan Nasrani. Mereka itu adalah orang-orang atheis yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Tidak satu pun di antara mereka yang boleh menjadi khathib atau imam di suatu masjid milik umat Islam, dan tidak sah shalat di belakang mereka. Setiap orang yang membantu kesesatan mereka, menganggap baik apa yang mereka dakwakan, serta mencaci dan mencemooh pada dai yang menyerukan Islam itu juga kafir lagi sesat. Kedudukannya sama seperti kedudukan kelompok yang sesat dimana ia berjalan dalam paradenya dan membantu mereka. Para ulama sepakat bahwa barangsiapa yang membantu orang-orang kafir untuk memusuhi umat Islam dengan cara apapun, maka ia kufur sepeti mereka.”

5. Syaikh Dr. Yusuf al-Qardhawi.

Dalam kitab al-Islam wal-‘Ilmaniyyah (73) mengatakan, “Seorang sekuler yang menolak penerapan syari‘at dari awal itu tidak memiliki hubungan apapun dengan Islam kecuali nama saja. Ia telah murtad dari Islam secara pasti, dan wajib diminta untuk bertaubat, dijauhkan dari syubhat dan diajukan argumen kepadanya. Kalau di atidak bertaubat, maka mahkamah memutuskannya murtad dan melepas statusnya sebagai muslim, dipisahkan dari istri dan anak-anaknya, dan berlaku padanya hukum orang-orang murtad, baik semasa hidup atau sesudah mati.”

Sebagian sarjana, atau orang yang telah menjual agama mereka dengan duniawi, mengklaim bahwa memutuskan perkara tidak berdasarkan wahyu Allah asalkan tidak menghalalkan sesuatu yang haram itu termasuk dosa dan maksiat yang tidak mengeluarkannya dari Islam. Jawaban atas pernyataan ini akan kami ambil dari buku Dr. Abdurrahman bin Shalih al-Mahmud, guru besar fakultas Ushuluddin, Riyadh, yang berjudul al-Hukmu bi Ghairi ma Anzalallah. Ia menulis, “Para ulama menyepakati kekafiran orang yang memutuskan perkara tidak dengan apa yang diturunkan Allah meskipun ia tidak menghalalkannya, sebagaimana yang dikemukakan banyak ulama. Di antara mereka adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnu Katsir, Ibnu Qayyim. Umat Islam tidak mengenal adanya perubahan atas syari‘at dan keputusan berdasarkan hukum positif sebelum kedatangan Tartar dengan membawa hukum mereka yang bernam Yasiq. Kemudian datanglah era modern ketika bangsa Nasrani dan selainnya menyerang umat Islam. Di antara peninggalkan mereka yang paling besar adalah hukum positif ini.

6. Ibnul Qayyim.

Disebutkan dalam al-Qur’an dan ijma’ yang shahih bahwa agama Islam menghapus setiap agama sebelumnya, dan bahwa barangsiapa yang mengikuti ajaran Taurat dan Injil dan tidak mengikuti al-Qur’an maka hukumnya kafir.” (Ahkam Ahlidz-Dzimmah, 1/259) Jika demikian, maka apalagi dengan mengikuti hukum positif.

7. Ibnu Katsir.

“Barangsiapa meninggalkan syari‘at yang muhkam yang diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah Penutup para Nabi, lalu ia bermahkamah kepada syari‘at lain yang telah dihapus, maka ia telah kufur. Lalu, bagaimana dengan orang yang mengikuti hukum Yasa dan lebih mengedepankannya daripada al-Qur’an?” (al-Bidayah wan-Nihayah, 13-119)

Inilah kesepakatan yang dituturkan ulama mengenai kufurnya orang yang mengikuti hukum selain syari‘at Islam. Undang-undang kontemporer itu bukan syari‘at yang dihapus al-Qur’an, melainkan lebih menyerupai Yasiq milik bangsa Tartar yang terhimpun dari syari‘at-syari‘at yang ada dalam agama Yahudi, Nasrani dan Islam.

Muhammad bin Hamid al-Hasani dalam bukunya ath-Thariq ilal-Khilafah (56) menjelaskan syarat-syarat untuk tidak menghukumi kafir orang yang memutuskan perkara tidak menurut wahyu Allah. Ia mengatakan,

1. Ia komit dan menerima secara lahir dan batin setiap hal yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.
2. Ia mengakui bahwa dengan tidak memutuskan perkara sesuai dengan wahyu Allah dalam perkara-perkara yang diajukan kepadanya itu berarti ia berdosa, dan bahwa keputusannya tersebut keliru, dan keputusan Allah saja-lah yang benar. Apabila ia berkata dengan bahasa verbal atau bahasa kondisi bahwa keputusannya lebih baik daripada keputusan Allah dan Rasul-Nya, atau bahwa keputusannya sama dengan keputusan Allah dan Rasul-Nya, bahwa keputusan Allah dan Rasul-Nya itu lebih sesuai untuk masa lalu, bahwa apa yang diputuskannya itu lebih tepat dan lebih baik untuk masa kini, bahwa hukum Allah dan Rasul-Nya itu lebih tepat dan lebih sesuai untuk setiap tempat dan waktu tetapi ia boleh memutuskan dengan apa yang dilihatkannya sesuai meskipun bertentangan dengan hukum Allah, seandainya ia mengatakan ini semua atau sebagiannya, maka ia telah menjadi kafir murtad.

3. Keputusan yang tidak menurut wahyu Allah itu berkaitan dengan kasus-kasus khusus dan tertentu, bukan dalam perkara-perkara universal dan umum. Seperti seorang pencuri dihadapkan kepada hakim yang merupakan kerabat pencuri. Sebenarnya hakim tersebut mengakui bahwa hukuman pencuri adalah potong tangan, tetapi ia membela kerabatnya dan menjatuhinya hukuman selain potong tangan. Lalu hakim tersebut ketika dihadapkan kasus pencurian lain dimana pelakunya bukan kerabatnya, maka ia akan menjatuhkan hukuman potong tangan. Hakim dengan perbuatannya seperti ini disebut kafir di bawah kafir, dengan syarat ia mengakui kekeliruan dan dosanya. Maksudnya, ia melakukan perbuatan kufur amali—bukan i‘tiqadi—yang tidak mengeluarkannya dari agama.

Hubungan Seks Saat Haid

Permasalahan yang sering terjadi pada pasangan muda. Karena kurangnya rasa sabar dalam menunggu waktu yang sebenarnya tidak terlalu lama. Haruskah kita menggadaikan Ketaqwaan demi kepuasan sesaat? Marilah kita kaji tanya jawab dibawah ini yang kami sunting dr eramuslim.com.

Asalamualaikum Wr. Wb. Ustadz.

Yang Ana tahu jika sebagai muslim berhubungan seks dengan istri yang sedang haid hukumnya adalah HARAM, yang Ana mau tanyakan apakah jika istri sedang haid, apakah bisa dengan menggunakan KONDOM, baik suami atau istri, sehingga tidak terjadi hubungan langsung antara penis dengan vagina? syukran atas jawabannya ustadz.

Wassalamualaykum. Wr. Wb.

RUDI

Jawaban
Wa'alaykumsalam Wr. Wb.

Saudara Rud yang dimuliakan Allah swt

Islam adalah agama moderat termasuk dalam hal menggauli wanita saat ia dalam keadaan haidh. Islam berada diantara faham orang-orang Nasrani yang menyetubuhi istri-istri mereka disaat haidh dengan faham orang-orang Yahudi dan Majusi yang menjauhi secara berlebihan terhadap istri-istri mereka yang sedang haidh.

Terhadap seorang isteri yang sedang mendapatkan haidh maka islam tidak melarang suaminya untuk bersenang-senang dengannya kecuali memasukkan kelaminnya kedalam kelamin istrinya maka para fuqaha mengharamkannya berdasarkan firman Allah swt :

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ ﴿٢٢٢﴾

Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al Baqoroh : 222)

Didalam sebuah hadits tentang berhubungan saat wanita sedang haidh disebutkan,”Lakukanlah (apa saja) kecuali nikah (memasukkan kelamin pria kedalam kelamin wanita).” (HR. Muslim)

Al Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan bahwa kebanyakan ulama salaf, ats Tsauri, Ahmad dan Ishaq berpendapat bahwa yang dilarang dari bersenang-senang dengan wanita yang sedang haidh hanyalah kemaluannya saja.

Sabda beliau “kecuali nikah” didalam hadits diatas dan pendapat para ulama diatas bahwa yang dilarang hanyalah kemaluannya saja memberikan penjelasan kepada kita bahwa islam melarang secara tegas memasukkan kelamin pria kedalam kelamin istrinya yang sedang haidh baik secara langsung bersentuhan antara keduanya maupun dengan menggunakan kondom walaupun dengan alasan adanya keamanan dan tidak membahayakan kesehatan.

Tentunya seorang muslim diharuskan untuk tunduk dan patuh dengan segala keputusan dan ketentuan Allah swt tanpa melakukan berbagai penawilan yang tidak memiliki landasan yang dibenarkan syariat apalagi bertujuan untuk mencari-cari celah atau hilah (tipu daya), sebagaimana firman Allah swt :

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا (٣٦)

Artinya : “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab : 36)

Wallahu A’lam

Mutilasi Gadis Mesir, Juragan Muda Emirat Dihukum Seumur Hidup

Sabtu (5/12) kemarin, Pengadilan Pidana Kairo memutuskan hukuman seumur hidup (25 tahun) kepada seorang juragan kaya asal Emirat, Usamah Muhammad Ibrahim El-Saksak, yang melakukan pembunuhan terhadap seorang gadis Mesir bernama Fatin Ridha Abdurrahman dan memotong mayat korban hingga delapan bagian.

Kasus pembunuhan dengan cara memotong-motong mayat korban atau mutilasi rupanya tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Nun jauh di negeri Ketika Cinta Bertasbih, Mesir, kasus serupa juga terjadi. Karena terbilang sebagai model pembunuhan untuk pertamakalinya, kasus mutilasi ini pun menggemparkan publik Mesir dan negara-negara Arab lainnya.

Cetak | Kirim

Peristiwa tersebut berlangsung pada pertengahan Februari silam, di sebuah flat di bilangan Masr El-Gedida atau Heliopolis, Kairo. Tak tanggung-tanggung, El-Saksak membunuh dan memotong-motong mayat Fatin hingga 8 bagian.

Sebagian potongan korban kemudian dibungkus plastik sampah berwarna hitam, lalu dibuang di bak sampah di sekitar flat. Kasus ini terbongkar ketika dua orang petugas kebersihan di kawasan tersebut tengah mengangkut isi sampah di dalam bak dan memindahkannya ke mobil sampah untuk digiling.

Kedua petugas kebersihan itu pun terkejut saat menemukan potongan kepala, betis bagian kiri, dua lengan. Selain potongan tubuh korban, petugas kebersihan itu juga menemukan dua buah pisau dapur berukuran besar yang berlumuran darah, sepatu sport milik pelaku dengan ukuran 43, serta sehelai baju yang juga berlumuran darah.

Kedua petugas kebersihan itu pun segera menghubungi pihak keamanan Mesir. Beberapa petugas intelejen dan polisi pun segera menuju lokasi kejadian dan segera melakukan penyelidikan. Hasilnya, didapati jika korban bernama Fatin Ridha Abdurrahman dan pelakunya seorang juragan kaya asal Emirat bernama Usamah Muhammad El-Saksak.

Setelah membunuh dan memutilasi korban, pelaku kabur ke Dubai. Meski demikian, upaya penangkapan pelaku dan digelarnya persidangan tetap dilakukan. (L/mht)

Disunting dr situs eramuslim.com

Jimat Bertuliskan Ayat Al-Quran

Ada seorang teman yang mengalami kecelakaan bermotor. Dua orang berboncengan. Pengemudi mengalami luka berat sedang yang dibonceng tidak mengalami luka sama sekali. Dda teman lain yang komentar "wah yang dibonceng dompetnya tebal tuh".
adalagi yang komentar" wah yang mengemudi nggak bawa dompet tuh".
apa yang dimaksudkan dengan komentar diatas adalah jimat. Tak bisa dipungkiri, meski sudah modern seperti sekarang ini, masih banyak yang mengandalkan jimat untuk melindungi keamanan diri. Padahal jimat sudah termasuk syirik.
dibawah ini ada sekelumit tentang jimat diambil dari tanya jawab di situs Eramuslim.com



Assalamualaikum Pak Ustadz,


Saya ingin menanyakan mengenai hukumnya menggunakan 'jimat', berupa kertas yang bertuliskan ayat2 Al Quran. Apakah dibenarkan dalam Islam apabila penggunaannya untuk menolak / agar kebal terhadap santet dari orang-orang yang berniat jahat kepada kita? Perlu diketahui bahwa 'jimat' ini diberikan oleh seorang kiyai. Tetapi saya ragu apakah ini termasuk dalam kategori syirik atau tidak. terimakasih sebelumnya.

NH di Jakarta

Jawaban
Waalaikumussalm Wr Wb

Saudara NH yang dimuliakan Allah swt

Allah swt telah menurunkan Al Qur’an agar manusia berubadah didalam membaca dan mentadabburi makna-maknanya sehingga mereka mengetahui hukum-hukumnya serta mengamalkannya. Karena itulah Al Qur’an merupakan nasehat dan peringatan bagi mereka yang dapat melembutkan hati, membuat gemetar kulit, menjadi obat penyakit-penyakit hati seperti kebodohan dan kesesatan, mensucikan jiwa dari berbagai kotoran syirik, maksiat dan dosa-dosa.

Allah swt menjadikan Al Qur’an sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang yang hatinya terbuka, menggunakan pendengarannya dan dia menyaksikan, firman Allah swt :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَاء لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ


Artinya : “Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus : 57)


اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُّتَشَابِهًا مَّثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاء


Artinya : “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Az Zumar : 23)

إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَن كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ


Artinya : “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang Dia menyaksikannya.” (QS. Qaff : 37)

Allah swt menjadikan Al Qur’an sebagai mu’jizat bagi Rasul-Nya, Muhammad saw dan sebagai sebuah tanda terbesar bahwa dirinya adalah seorang rasul dari sisi Allah swt kepada seluruh manusia agar beliau saw menyampaikan syariat-Nya kepada mereka, sebagai rahmat bagi mereka serta untuk menegakkan hujjah atas mereka.

Allah swt berfirman :

وَقَالُوا لَوْلَا أُنزِلَ عَلَيْهِ آيَاتٌ مِّن رَّبِّهِ قُلْ إِنَّمَا الْآيَاتُ عِندَ اللَّهِ وَإِنَّمَا أَنَا نَذِيرٌ مُّبِينٌ ﴿٥٠﴾
أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَى عَلَيْهِمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَى لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ ﴿٥١﴾


Artinya : “Dan orang-orang kafir Mekah berkata: "Mengapa tidak diturunkan kepadanya mukjizat-mukjizat dari Tuhannya?" Katakanlah: "Sesungguhnya mukjizat- mukjizat itu terserah kepada Allah. dan Sesungguhnya aku hanya seorang pemberi peringatan yang nyata". Dan Apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) sedang Dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (Al Quran) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al Ankabut : 50 – 51)


Artinya : “Ini adalah ayat-ayat kitab (Al Quran) yang nyata (dari Allah).” (QS. Al Qashash : 2)


Artinya : “Inilah ayat-ayat Al Quran yang mengandung hikmat.” (QS. Luqman : 2)

Pada dasarnya Al Qur’an adalah Kitab tentang syariat dan penjelasan berbagai hukum. Ia adalah tanda yang faseh, mu’jizat yang luar biasa dan argumentasi yang tak terbantahkan yang dengannya Allah swt menguatkan Rasulul-Nya, Muhammad saw. Bersamaan dengan itu maka terdapat riwayat bahwa Rasulullah saw pernah meruqyah dirinya dengan Al Qur’an dengan membaca “al muawwidzat ats tsalatsah”, yaitu قل هو الله أحد dan قل أعوذ برب الفلق dan قل أعوذ برب الناس . Terdapat pula riwayat bahwa beliau saw mengizinkan ruqyah yang tidak mengandung kesyirikan didalamnya dari al Qur’an dan doa-doa yang disyariatkan. Beliau saw juga membolehkan praa sahabatnya meruqyah dengan Al Qur’an dan mengambil upah darinya.

Dari ‘Auf bin Malik berkata,”Pada masa jahiliyah kami pernah meruqyah. Lalu kami mengatakan,’Wahai Rasulullah apa pendapatmu tentang itu?’ beliau saw menjawab,’Tunjukanlah ruqyahmu dihadapanku, dan tidaklah mengapa dengan ruqyah selama tidak ada kesyirikan didalamnya.” (HR. Muslim didalam shahihnya)

Dari Abu Sa’id al Khudriy berkata,”Beberapa orang sahabat berangkat pada suatu perjalanan hingga mereka singgah di sebuah kampung dari perkampungan orang-orang Arab. Para sahabat pun berharap dijamu oleh mereka akan tetapi mereka enggan menjamunya. Tiba-tiba kepala kampung itu disengat binatang berbisa. Mereka pun berupaya untuk menyembuhkan dengan berbagai macam cara namun tak satu pun berhasil. Sebagian mereka berkata,’Cobalah kalian datangi rombongan yang mampir itu barangkali sebagian dari mereka memiliki sesuatu (untuk penyembuhan).’ Maka mereka pun mendatangi para sahabat dan berkata,’Wahai rombongan (tamu), sesungguhnya pemimpin kami telah disengat binatang dan kami telah berupaya sekuat tenaga akan tetapi tak satu pun yang berguna, maka apakah salah seorang diantara kalian memiliki sesuatu (untuk menyembuhkannya)?’ sebagian dari sahabat berkata,’Ya.. demi Allah sesungguhnya aku mencoba meruqyah akan tetapi, demi Allah, sungguh kami berharap dijamu kalian namun kalian enggan menjamu kami maka saya tidak akan meruqyah kalian sehingga kalian memberikan kami upah.’ Mereka pun bersepakat untuk memberikan sejumlah kambing. Sahabat itu pun berangkat dan meludahinya serta membaca الحمد لله رب العالمين dan pemimpin mereka pun sembuh lalu bangun dan berjalan seakan-akan tidak pernah sakitdan berkata,’Tunaikanlah upah mereka sebagaimana kesepakatan kalian.’ Sebagian mereka mengatakan,’Bagi-bagilah (antara kalian).’ Dan sahabat yang meruqyah berkata,’Janganlah kalian membagi-bagikannya sebelum kita bertemu Nabi saw.’ Lalu mereka pun menceritakan hal itu kepadanya dan Nabi saw bersabda,’Apa yang kamu lakukan itu adalah ruqyah.’ Lalu beliau saw bersabda,’Sungguh kalian telah berbuat yang benar. Bagi-bagilah dan sisakan bagian buatku.’ Maka Nabi saw pun tertawa.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Dari Aisyah ra berkata,”Rasulullah saw apabila berbaring diatas tikarnya maka beliau saw meniupan di telapak tangannya dengan قل هو الله أحد dan al muawwidzatai (Al Falaq dan An Naas) seluruhnya lalu beliau saw mengusapkan kedua tangannya itu ke wajahnya dan bagian-bagian tubuhnya yang bisa dijangkau oleh kedua tangannya itu.’ Aisyah berkata,’Tatkala beliau sakit maka beliau memerintahkanku untuk melakukan itu padanya.” (HR. Bukhori)

Dari Aisyah berkata bahwa Nabi saw memohonkan perlindungan (kepada Allah) untuk sebagian keluarganya dan mengusap dengan tangan kanannya sambil berkata,”Wahai Allaih Tuhan manusia, hlangkanlah penyakit dan sembuhkanlah. Engkau adalah Yang Maha Menyembuhkan dan tidaklah ada penyembuhan kecuali penyembuhan-Mu yang tidak meninggalkan penyakit.” (HR. Bukhori)

Banyak lagi hadits-hadits lainnya yang menegaskan bahwa ruqyah dengan Al Qur’an maupun yang lainnya dan beliau saw mengizinkan serta menetapkan ruqyah selama tidak ada kesyirikan didalamnya.

Tidak terdapat riwayat dari Nabi saw—padahal kepada beliau Al Qur’an diturunkan, beliau lah yang paling mengetahui tentang hukum-hukumnya serta paling mengetahui kedudukannya—bahwa beliau saw menggantungkan pada tubuhnya atau selainnya suatu jimat dari Al Qur’an maupun yang lainnya atau beliau saw mengambil Al Qur’an atau beberapa ayat darinya sebagai hijab yang menutupi tubuhnya atau selainnya dari berbagai kejahatan ataupun membawa Al Qur’an atau sesuatu dari Al Qur’an didalam bajunya atau perhiasannya diatas kendaraannya agar terlindung dari kejahatan para musuhnya atau mendapatkan kemenangan terhadap mereka atau agar dimudahkan perjalanannya sehingga berbagai rintangan ddidalam perjalanannya sirna atau lain-lainnya demi mendapatkan manfaat atau menghilangkan kemudharatan.

Dan seandainya hal itu disyariatkan pastilah beliau saw bersemangat untuk itu, melakukannya dan menyampaikannya kepada umatnya serta menerangkannya kepada mereka berdasarkan firman Allah swt :

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ


Artinya : “Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (QS. Al Maidah : 67)

Dan seandainya beliau saw melakukan hal itu atau menjelaskannya kepada para sahabatnya pastilah mereka akan meriwayatkannya kepada kita dan mengamalkannya. Sesungguhnya para sahabat adalah orang-orang yang paling semangat untuk menyampaikan dan memberikan penjelasan dan mereka adalah orang-orang yang paling memeliharan syariat baik berupa perkataan maupun perbuatan dan yang paling ittiba (mengikuti) Rasulullah saw. Akan tetapi tidaklah ada sedikit pun riwayat dari seorang pun dari mereka.

Hal itu merupakan dalil bahwa membawa mushaf, meletakkannya di mobil, perhiasan rumah atau lemari uang dengan tujuan mencegah kedengkian, melindunginya, mendapatkan manfaat atau mencegah kemudharatan maka ia tidaklah dibolehkan.

Begitu juga dengan menjadikan Al Qur’an sebagai hijab, menuliskannya diatasnya atau menuliskan ayat-ayat dari Al Qur’an pada rantai emas atau perak atau yang lainnya untuk digantungkan sebagai jampi dan sejenisnya maka tidaklah diperbolehkan karena bertentangan dengan petunjuk Rasulullah saw dan para sahabatnya berdasarkan keumuman hadits,”Barangsiapa yang menggantungkan jimat maka Allah tidak akan menyempurnakan baginya..” didalam riwayat lain,”Barangsiapa yang menggantungkan jimat maka ia telah berbuat syirik” keduanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Serta keumuman sabda Rasulullah saw,”Sesungguhnya jampi, jimat dan tiwalah adalah syirik.”

Namun Nabi saw mengecualikan jampi yang tidak terdapat kesyirikan didalamnya maka ia dibolehkan, sebagaimana penjelasan diatas. Dan beliau saw tidaklah memberikan pengecualian terhadap jimat sehingga ia tetaplah dilarang, demikianlah pendapat Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, sekelompok dari sahabat dan sekelompok dari tabi’in diantaranya adalah para sahabat Abdullah bin Mas’ud seperti Ibrahim bin Yazid an Nakh’i.

Ada sekelompok ulama yang memberikan rukhshah (keringanan) menggantungkan jimat-jimat dari Al Qur’an, Asmaul Husna dan sifat-sifat Allah untuk tujuan memberikan perlindungan dan lainnya. Mereka mengecualikan hal itu dari hadits Nabi saw tentang jimat-jimat diatas sebagaimana dikecualikannya jampi yang tidak terdapat kesyrikan didalamnya karena Al Qur’am adalah firman Allah swt maka meyakini keberkahan dan manfaat didalamnya maupun didalam nama-nama dan sifat-sifat Allah bukanlah sebuah kesyirikan sehingga tidaklah dilarang mengambil darinya sebagai jimat, mengamalkan sesuatu darinya, menyertakannya atau menggantungkannya dengan berharap keberkahan dan menfaatnya.

Pendapat ini disandarkan kepada perkataan sekelompok orang diantaranya Amr bin al ‘Ash akan tetapi riwayatnya tidaklah teguh karena didalam sanadnya terdapat Muhammad bin Ishaq dan ia adalah salah seorang ‘penipu’.. dan andaikan riwayat itu teguh maka ia bukanlah dalil dibolehkannya menggantungkan jimat-jimat dari itu semua (Al Qur’an, Asmaul Husna) karena yang dimaksudkan di situ adalah menghafalkan Al Qur’an untuk anak-anak yang sudah besar dan menuliskannya untuk anak-anak kecil pada lembaran-lembaran lalu menggantungkannya di leher-leher mereka. Memang secara lahiriyah dia melakukan itu bersama anak-anak untuk mengulang-ulang bacaan yang telah dituliskannya sehingga mereka dapat menghafalkannya dan dia melakukan itu bukanlah untuk menjaga diri anaka-anak dari kedengkian atau kejahatan lainnya, maka ini tidaklah bisa disamakan dengan jimat sedikit pun.

Asy Syeikh Abdurrahman bin Hasan didalam kitabnya “Fathul Majid” memilih pendapat Abdullah bin Mas’ud serta para sahabatnya yang melarang berbagai jimat dengan menggunakan Al Qur’an serta yang lainnya. Dia mengatakan bahwa ini adalah pendapat yang benar ditinjau dari tiga sisi :
1. Keumuman larangan dan tidak ada pengkhususan terhadap yang umum.

2. Sebagai tindakan preventif karena bisa mengarah kepada menggantung yang lainnya.
3. Bahwa apabila digantungkan maka ia akan mengalami pelecehan oleh orang yang menggantungkannya ketika dirinya masuk ke WC atau kamar kecil. (Fatawa al Lajnah Li al Buhts al Ilmiyah wa al Ifta’ juz I hal 324 – 330)

Wallahu A’lam